Cerbung: Rahasia Hantu (3)

Posting Komentar
Ilustrasi: Joe
Cerita sebelumnya:

Ternyata, Lolita juga pernah gagal dalam menjalankan tugasnya sebagai hantu yang harus menakuti anak-anak. Aku pun sedikit terhibur. Tetapi, kami lalu membayangkan hukuman-hukuman yang harus kami terima akibat kegagalan itu. Tiba-tiba, kami mendengar jeritan Davin yang meminta pertolongan.


Wajah Davin yang putih semakin pucat. Tubuhnya gemetar ketakutan. Dia mencengkram erat-erat pagar jembatan. Oh, iya, aku ingat! Davin, kan, menderita acrophobia alias takut ketinggian! Aku segera berlari mendekati Davin.


“Ttt...ttto...long...” pinta Davin terbata-bata sambil memandangku. Aku segera memapah Davin menuruni jembatan penyeberangan. Lolita membantuku.

Setelah bersusah payah memapah Davin yang berat itu, aku dan Lolita menyandarkan tubuh kami di bawah pohon. Kasihan Davin. Giginya sampai bergemeretak karena ketakutan.

Kami menunggu sampai Davin tenang. Lolita menawarkan minuman dari botol minum yang selalu dibawanya ke mana-mana. Setelah merasa tenang, Davin pun mulai bercerita.

“Aku kesal melihat Vico yang suka mengganggu anak-anak perempuan. Lalu, aku mulai menakut-nakuti Vico. Awalnya, Vico ketakutan ketika melihatku. Dia berlari meninggalkan anak-anak perempuan yang diganggunya. Aku kejar dia sampai ke atas jembatan penyeberangan. Vico takut sekali. Badannya gemetar.
 Dia bahkan tidak mampu berteriak minta tolong. Tetapi, waktu menoleh ke bawah, tiba-tiba aku sadar. Aku, kan, takut ketinggian! Gantian aku yang gemetar ketakutan. Rupanya, Vico melihat ketakutanku. Vico jadi enggak takut lagi padaku. Malah, dia menertawakan aku.”

Davin menundukkan kepalanya sedih. “Aku gagal,” bisiknya.

Kali ini, aku yang menepuk pundak Davin, seperti Lolita menepuk pundakku. “Teman, kamu tidak sendirian,” hiburku. Davin hanya membalas dengan senyum setengah hati. Namun, dia sedikit lebih terhibur setelah aku menceritakan kegagalanku dan kegagalan Lolita.
Tampilan "Rahasia Hantu-3" diilustrasi oleh Joe.

Tiga hari telah berlalu sejak kejadian itu. Aku hampir saja melupakan peristiwa itu ketika tiba-tiba aku melihat Raffa yang sedang duduk sedih di tepi kolam. Tangannya melemparkan kerikil-kerikil kecil ke dalam kolam.

“Kenapa, Raffa?” tanyaku. Raffa diam. Raffa memang hantu yang paling pendiam di antara aku dan sahabat-sahabatku. Aku menunggunya berbicara sambil ikut-ikutan melemparkan kerikil ke dalam kolam.

“Aku tidak layak menjadi hantu,” akhirnya Raffa membuka mulutnya.

Aku menoleh sambil mengangkat alis. Kenapa Raffa sampai bisa berpikiran begitu, ya?

“Aku tidak berhasil menakut-nakuti Dito!” bisik Raffa.

Aku mulai tertarik. Aha, ada satu hantu lagi yang gagal! “Bagaimana ceritanya?” tanyaku penasaran.
Lagi-lagi, Raffa diam.

“Raffa, cerita, dong!” bujukku.

Raffa tetap diam. Ugh, dasar hantu pendiam! Padahal aku penasaran sekali ingin mendengar ceritanya. Tetapi, Raffa memang begitu. Aku harus bersabar untuk menunggunya hingga mau berbicara. Hampir satu jam aku menunggu Raffa sambil melemparkan kerikil ke dalam kolam. Lama-lama, kerikil di sekitarku mulai habis. Untung, Raffa segera menceritakan pengalamannya.

“Dito pulang sekolah sendirian. Aku melompat dari balik pohon untuk menakutinya. Tentu saja Dito kaget dan ketakutan. Dia sudah berteriak-teriak minta pertolongan. Tetapi, aku bingung mau ngomong apa. Akhirnya, aku cuma diam saja. Dito pun enggak takut lagi. Dia pergi sambil mengatakan bahwa aku adalah hantu yang manis karena cuma diam dan tidak suka menakuti anak-anak. Bahkan, dia mengajakku bersahabat.”

“Aku kesaaal!” seru Raffa.

Cukup! Kekacauan ini tidak bisa dibiarkan! Kalau anak-anak tidak takut lagi pada hantu, tamatlah riwayat kami. Kami tidak punya pekerjaan lagi. Padahal, tidak enak, lo, menjadi hantu yang tidak punya pekerjaan. Setiap hari kami cuma bermain-main saja.

“Kita harus mengadakan konferensi para hantu!” kataku tegas.

(bersambung)



-- cerita ini dimuat di Majalah Bobo No. 42/XXXIX --
Veronica W
Seorang penulis dan editor yang menyukai dunia anak-anak.

Related Posts

Posting Komentar